Mengatasi Rasa Takut untuk Menulis
Seseorang yang mampu berpikir dengan baik, seharusnya bisa menulis dengan baik pula.
Ketika saya kembali menulis blog, beberapa kawan berkomentar. Kurang lebih seperti ini: “Kok bisa sih, udah lama nggak nulis tapi tetap bisa lancar nulis lagi?”
Pertama, saya tidak benar-benar “berhenti menulis”. Pekerjaan saya sehari-hari tetap melibatkan aktivitas menulis: membuat dan menjawab surel, menyusun proposal, mendesain dan menyunting microcopy (UX wording), berbalas pesan singkat, dan seterusnya.
Kedua, saya rasa menulis bukan soal bakat-bakatan, atau bisa-tidak bisa.
William Zinsser, penulis buku legendaris On Writing Well, dalam pengantarnya juga mengulas soal ini. Menurut dia, di masa lalu, orang “malas” menulis karena banyak sekali hal yang dibutuhkan untuk mendukung proses penulisan: tinta, pena, kertas, amplop (jika ingin menulis surat), dan seterusnya. Akhirnya, aktivitas menulis dianggap bukan untuk semua orang.
Teknologi mesin ketik telah membantu sebagian orang untuk menulis lebih cepat, namun tetap memiliki keribetannya sendiri.
Kemudian terjadi revolusi dalam dunia teknologi pada 1980-an. Hampir setiap orang menggunakan perangkat pengolah kata (word processor). Menulis terasa lebih mudah. Apalagi setelah era internet tiba.
Tiba-tiba, semua orang yang tadinya benci, tidak bisa, dan tidak mau menulis, jadi menulis. Bahkan, tidak bisa berhenti. Setiap hari, mereka menulis surel, atau bercakap-cakap lewat tulisan di aplikasi messenger.
Artinya, menulis bukanlah persoalan kognitif. Setiap orang bisa melakukannya. Persoalannya cuma satu: rasa takut.
Ketika menulis menjadi sebuah aktivitas untuk menunjang pekerjaan sehari-hari, hampir semua orang melakukannya dengan enteng saja. Mereka tidak merasa perlu mengikuti kursus menulis atau membaca buku-buku soal teknik penulisan.
Namun, coba minta mereka menulis tentang pengalaman pergi-pulang naik kereta, misalnya. Sebagian besar pasti panas-dingin, bingung, tidak tahu mesti memulai dari mana. Padahal, naik kereta adalah aktivitas yang mereka lakukan setiap hari ke tempat kerja.
Saya pernah mengisi pelatihan di divisi humas sebuah kementerian. Sebagai staf humas, sebagian besar dari mereka tentu saja terbiasa menulis (membuat rilis, laporan, dan lain-lain). Akan tetapi, sebagian besar tergagap-gagap ketika saya minta menulis tentang “pengalaman berlibur bersama keluarga”.
Di Amerika, tulis Zinsser, rasa takut untuk menulis sudah tertanam di benak anak-anak sekolah sejak masa kecil. Anak-anak yang menyukai bidang sains atau teknik menganggap bahwa menulis adalah “urusan guru bahasa Inggris” yang dikaruniai “bakat merangkai kata-kata”. Sehingga, jika mereka yang harus melakukannya, mereka takut hasilnya tidak akan sebaik guru bahasa Inggris mereka.
Kabar baiknya, rasa takut untuk menulis bukan hanya menghantui anak-anak atau “penulis amatiran”. Para penulis profesional pun kerap mengalaminya, biasa disebut writer’s block atau writing anxiety. Jadi, tenang saja. Anda tidak sendirian.
Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Jujur saja, saya tidak punya kiat khusus kecuali memaksa diri dan meluangkan waktu untuk membaca dan mulai menulis. Tetapi, cara-cara ini mungkin bisa membantu:
- Identifikasi sumber ketakutan Anda. Apakah khawatir tulisan Anda diejek orang lain? Apakah karena Anda seorang perfeksionis? Mengetahui sumber ketakutan ini bisa membantu untuk mengatasi rasa takut.
- Jangan pasang ekspektasi yang muluk-muluk. Tidak ada satu pun orang, sehebat apa pun, yang langsung menghasilkan tulisan yang sempurna. Toh, Anda bukan sedang mengikuti lomba penulisan kaliber internasional. Menulis adalah proses. Kerap kali, jalannya panjang dan terjal. Santai saja. Tulis dulu, jelek pun tidak mengapa. Anda bisa memperbaikinya nanti.
- Jadikan menulis sebagai rutinitas. Seakan-akan ada sesuatu yang hilang jika sehari saja tidak menulis. Sediakan waktu, walau sebentar (setengah jam, mungkin) asal konsisten. Tulislah satu-dua paragraf di aplikasi notes ponsel Anda. Freewriting, abaikan dulu masalah tata bahasa. Otak kita akan terbiasa dengan proses menulis, dan menjadikannya aktivitas yang natural.
- Cari inspirasi. Anda pasti sering mendengar nasihat ini: “Jika ingin banyak menulis, perbanyak membaca”. Itu perkataan yang valid. Sekarang ini, banyak sarana untuk mendapatkan inspirasi: buku, blog, media sosial, dan lain-lain.
- Minta dukungan orang lain. Bisa dengan mengikuti komunitas atau berteman dengan orang yang punya minat sejenis. Tapi ingat, Anda harus bisa berlapang dada jika orang-orang di komunitas mengkritik tulisan Anda. Yakinlah bahwa kritik mereka merupakan jalan bagi Anda untuk memperbaiki diri.
- Jika punya akses, hubungi profesional. Saya pribadi pernah “berguru” pada Seno Gumira Ajidarma. Meski hanya beberapa sesi, banyak sekali insight menarik dari beliau yang selama ini luput dari perhatian saya. Itulah pentingnya memiliki mentor.
- Traktir diri sendiri setiap selesai menyelesaikan target tertentu. Ini menciptakan suasana positif yang membuat Anda ingin mengulanginya lagi dan lagi. Misal, Anda menargetkan untuk menulis satu paragraf setiap hari. Jika tercapai, saat akhir pekan belilah es krim atau apa pun yang membuat Anda senang.
Jadi, jangan takut lagi ya!